Susie, Pecel Tumpang, dan Secuil Mimpi

Posted: October 13, 2009 by mbah admin in kuliner seputar pare

Malam itu tepat ba’da adzan isya saya datang ke lesehan pecel tumpang Susie yang berada di jalan Pahlawan Kusuma Bangsa Pare. Lesehan itu tampak sederhana sekali. Letaknya berderet dan berjejar dengan warung-warung lain yang juga menawarkan menu santapan khas kaki lima. Tak begitu sulit menemukan warung ini. Bilamana anda warga Pare ataupun pendatang yang baru saja berinjak kaki di Pare, tak tahu-menahu nama jalan, cukuplah mencari tahu atau bertanya di mana keberadaan masjid An-Nur Pare yang berdiri megah itu dengan menaranya yang tinggi putih menjulang ke atas. Nah, kalau sudah ketemu, anda tinggal menelusur ke arah barat. Tengoklah sisi selatan jalan. Lesehan ini berada di deretan pertama(bilamana anda dari arah timur). Dari situ sudah bisa terbaca dengan jelas “Lesehan Susie” yang terpampang di sebuah spanduk kuning tua. Pecel tumpang pincuk – menu utama lesehan ini.

“Bu, Sus…”, sapa saya

“Hey, mari masuk. Sebelah sini lebih enak ngobrolnya”, sambutnya ramah

Saya pun langsung duduk di ujung barat meja. Persis di depan penganan yang tertata rapi dan menggugah lidah untuk mencicip. Memang beberapa hari sebelumnya saya sudah janjian dengan bu Sus untuk wawancara. Saya katakan kepadanya bahwa saya ingin membuat catatan tentang kuliner Pare dan wilayah sekitarnya; yang sampai hari ini – sepanjang yang saya tahu – belum pernah ada yang menuliskannya sebagai dokumentasi sejarah masa depan. Hal ini pun menjadi ikhtiar awal untuk memulai mengendus dan mendokumentasikan jejak-jejak budaya di Pare yang (mungkin) semakin teraleniasi, masih bertahan, atau bermetamorfosis menjadi budaya baru seiring dengan perubahan yang begitu cepat di masyarakatnya.

Lesehan masih terlihat sepi malam itu. Belum banyak pengunjung yang datang. Hanya beberapa anak muda yang sedang makan nasi pecel dan sekadar nongkrong sambil ngopi dan rokok’an. Seperti biasa setiap kali jualan bu Sus hanya ditemani anaknya; Lulus. Niat hati ingin memesan segelas jahe hangat sebagai teman wawancara, namun belum sempat berucap saya pun langsung disuguhi dengan segelas kopi susu.

“Bu Sus, bisa sampeyan ceritakan awal mulanya jualan nasi pecel tumpang?” tanya saya memulai

“Ya, jadi begini mas, awalnya sebelum saya jualan nasi pecel tumpang, saya jualan sayur. Kemudian sama suami, saya ditawari kamu mau jualan nasi. Saya tanya, jualan dimana? Suami saya menjawab di depan taman makam pahlawan. Seberang rumah sakit Amelia itu. Waktu itu saya berpikir sejenak. Menimbang-nimbang keputusan. Akhirnya, saya setuju untuk jualan di sana.”

“Itu tahun berapa, bu?”

“Saya masih ingat betul pertama kali jualan itu mas, tanggal 2 Agustus 2000” jawab perempuan yang punya nama lengkap Lusi Susanti ini.

“Waktu pertama kali jualan itu bagaimana?”

“Awalnya tidak seperti ini mas. Saya belum jualan banyak seperti ini. Hanya nasi pecel tumpang dan minuman saja. Namanya juga masih babat alas ya mas, pasti ada saja halangannya. Dulu itu waktu saya jualan sering kali dirusuhi. Maksudnya sepulang dari jualan kan segala perabot hanya ditaruh di belakang taman itu,cuma ditutup rapat asal tidak terlihat dari jalan saja. Saya sering kali kecolongan. Mulai gelas, piring, pokok perabot-perabot jualan. Tapi saya biarkan saja. Saya cuma berpikir mungkin ini cobone wong golek rejeki. Ben sing kuoso sing mbales” katanya sambil tersenyum.

Tak berapa lama kami mengobrol ada pengunjung yang datang. Dua orang remaja. Mereka memesan nasi pecel tumpang. Bu Sus pun langsung melayani. Terlihat mereka begitu menikmatinya. Sesekali satu di antara remaja itu mengambil bakwan sebagai lauk tambahan. Lulus yang sedari tadi pergi setelah membuatkan saya kopi susu segera kembali. Melaksanakan tugasnya sebagai pembuat minum. Saya pun berhenti sejenak. Menikmati kopi susu yang disuguhkan sedari tadi.

Pecel – Tumpang. Dua jenis santapan yang berbeda namun satu keterpaduan dan saling melengkapi. Santapan ini begitu familiar sekali bagi masyarakat Pare. Hampir setiap warung-warung atau lesehan-lesahan yang buka pagi, siang, sore, malam, atau dini hari sekali pun umumnya menyuguhkan santapan ini. Hal ini sudah menjadi budaya bahkan karakter kuliner yang paling sering dinikmati warga. Sederhana. Bercita rasa.

Belum pernah ada sejarah tertulis – sepanjang yang saya tahu – yang menerangkan dengan jelas asal muasal pecel – tumpang di Pare. Bahkan dalam bukunya Mojokuto, antropolog Amerika Clifford Geertz yang pernah melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa sekira tahun 1960-an di Pare ini tidak menerangkan dengan detil. Yang pasti santapan ini sudah ada sejak nenek saya masih belum menikah(yang kebetulan saya sempat bertanya ke nenek saya). Maka jangan heran bila di setiap sudut Pare mudah sekali ditemui para penjual nasi pecel tumpang.

Tak begitu sulit membuatnya sebab bahan-bahannya sangat merakyat sekali. Jikalau pecel berbahan dasar kacang tanah sedang tumpang lebih ke perpaduan tempe waras dan tempe bosok yang diracik dengan cabe rawit dan cabe besar dengan rempah-rempah lainnya. Namun, cita rasa yang dihasilkan akan berbeda antara satu tangan dengan tangan yang lain. Antara warung lesehan yang satu dengan yang lainnya. Begitulah. Masing-masing akan mempunyai karakter rasa yang khas.

Demikian halnya dengan lesehan Susie. Bilamana anda mampir ke lesehan ini dan mencicip sepincuk nasi pecel tumpang yang disuguhkan, segera anda bisa membedakan karakter rasa pecel tumpangnya dengan warung lesehan lain di Pare. Tidak begitu mahal. Sepincuk nasi pecel tumpang di lesehan ini hanya seharga tiga ribu rupiah.

Malam semakin beranjak. Pengunjung pun mulai ramai berdatangan. Bu Sus semakin sibuk melayani. Saya masih belum berpindah tempat duduk. Sembari menulis hal-hal yang kami bicarakan tadi. Dan sesekali meminum kopi susu yang mulai mendingin. Mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya.

“Bu Sus, lesehan ini biasanya buka dari jam berapa sampai jam berapa?” tanya saya kembali

“Kalau persiapan itu jam lima sore, mas. Setelah magrib mulai jualan sampai malam jam dua belas.”

“Setiap hari berapa kilo nasi yang dimasak, bu?”

“Tidak pasti. Tapi kalau dirata-rata kurang lebih 10 Kg setiap harinya. Seperti kemaren itu, saya sampai menanak dua kali saking ramenya” jawabnya sambil tersenyum

“Pernah sampai tidak habis bu jualannya?”

“Ya pernah, mas”

“Kalau tidak habis, nasinya itu dibuang atau dibagi-bagikan?”

“Biasanya dibagikan, namun kadang-kadang juga kalau sisa nasinya banyak itu dibuat krupuk puli,mas”

“Kalau kulupan dan lalapannya tidak habis?”

“Kalau itu dibuang, mas. Soalnya kan tidak tahan lama.”

Saya kembali diam sejenak. Menghisab rokok yang tadi sudah tersulut sambil meminum kopi susu yang sudah dingin. Mencatat pembicaraan kami. Namun para pengunjung masih tampak menikmati santapannya sambil mengobrol dengan santai. Sesekali terdengar riuh gelak tawa di antaranya. Saya melihat jam. Sungguh tak terasa sudah hampir jam sepuluh malam. Saya pun bersiap untuk mengakhiri wawancara.

“Selama tujuh tahun jualan nasi pecel tumpang, njenengan punya mimpi atau harapan apa, bu?”

“Maksudnya”

“Maksud saya satu keinginan besar yang mungkin sampai hari ini masih belum terwujud”

“Wah banyak, mas. Kalau adiknya Lulus yang sekarang masih sekolah itu minta ingin dikuliahkan. Ya, mudah-mudahan saya diberi rejeki yang banyak, warungnya lancar dan bisa mengkuliahkan anak saya itu. Lulus sendiri maunya meneruskan jualan ini saja. Dia tidak berminat untuk melanjutkan sekolahnya. Namun, selama ini sejujurnya saya mengidamkan ingin membangun rumah sendiri”

Saya terkagum mendengar jawaban seorang perempuan sederhana yang sudah berusia kepala empat itu. Di sebalik pekerjaannya sebagai penjual nasi pecel tumpang, serta senyum ramahnya yang membuat pengunjung nyaman, terselip secuil mimpi yang berarti untuk diri dan keluarganya.

Jam menunjuk pukul setengah sebelas malam. Kopi susu yang sedari tadi mendingin telah habis terminum. Saya pun mengakhiri perbincangan dan berpamitan pulang. Banyak hal yang saya dapat dari obrolan selama empat jam tersebut.

Sekali lagi pecel tumpang tak hanya sebuah santapan pengenyang perut belaka. Ia juga produk budaya yang sayang sekali bila kita biarkan merana. Karena tak ada yang tahu, dua puluh tahun ke depan apakah ia masih menjadi kuliner yang sering dinikmati atau justru semakin tersisih dan langka.

*) A. Iwan Kapit, Penulis tinggal di Pare, penikmat budaya lokal.

Comments
  1. amien says:

    wah,klo warungnya bu susi,enggk prnah lupa,saya datang ke situ sama teman saya,anak semanding,orang arab,

  2. edi purwanto says:

    kapan ya bisa makan pecel tumpang bu sus?

  3. yanik arek kediri says:

    wah, matur nuwun pecel tumpange,dadi ngiler maleh pengin muleh, heee

  4. Grace says:

    mas.. mbok yo ojok warung susie tok
    sing enak2 ndek pare kan lebih akeh..
    ambek lek buat jok artikel panjang2..
    sing penting detail kenikmatan’e mbek foto’e
    huehehhehehe

    • sonny bdoors says:

      saran diterima :D…sekarang jg lg meliput warung2 di skitar pare kok…tunggu artikel kuliner berikutnya..:)
      kl mbak grace punya sodara ato temen yg pny warung di skitar pare boleh jg kok di tampilkan disini..gratis..tis…tis 🙂

    • A Iwan Kapit says:

      Matur tenkyu buat sarannya mbak Grace. Masalah panjang artikel memang pada dasarnya selain meliput kulinernya, dalam narasi yang saya tulis, saya ingin menampilkan kisah pahit,getir,suka,dan kepuasan di balik rintisan perjuangan mereka membuka usaha tersebut.

      Selain sebagai live report, juga menjadi ikhtiar saya untuk dokumentasi sejarah budaya kuliner Pare di masa depan. Semoga bisa bermanfaat.

      Kalau punya tempat menarik untuk di liput, silakan hubungi saya. Saya usahakan bisa meliputnya.

  5. sungguh tak mengira banyak respon dan masukan dari narasi ini. Wah, lama-lama bisa jadi reporter kuliner pare hahahha…
    buat mas Sonny, sabar yow
    kalau g ada hambatan pasti akan aku liput semua
    di tunggu aja

  6. ciput says:

    pecel sing enak selain y;ang disebutkan diatas :
    Pecel neng ngarepe pak ji metal, pecel mboto rejo terus pecel tertek cepitan dalam ning ngarepe dam tertek pas

  7. sonny bdoors says:

    kapan iki di ulas pecel tulungrejo (krn tempene uenak), pecel jombangan, pecel katolik, pecel tretek (samping omae pak zabid), rujak cingur, legen dpn greja katolik, sop kikil, sate kambing pak slamet, depot nyamleng,dll…wis pokoe panganan tok hehehhee….aku duwe konco sing buka warung, sopo ngerti gelem di ulas warunge, warung sate “rastaman” depan makam pahlawan, sing duwe putune pak slamet sate, bakso urat sampinge wapo, kwi sing duwe udin..kl mas kapit mau mengko tak buatkan janji dgn mreka..tp sing tak tunggu ki artikel legen depan katolik, soale sing dodol ki hampir kenal kabeh wong sak pare..

  8. cwq says:

    mangstaaapfff ……..
    dari segi kuliner : emang betul pak, pecel-tumpang kui brand jawa timur bagian tengah ngulon. laporan aku mari mangan sego pincuk pecel-tumpal di kalibata-jkt .. myan rek nggo ngapusi ilat …

    dari segi humaniora : emang, orang2 yg hidup dari jalanan selalu harus bisa ‘tangguh’ menghadapi kerasnya hidup, tapi sisi manusiawinya masih ada dan selalu ada …

    salut dan ditunggu bakso pancaran-e rek … kekekekke

    • dedy "pendhek" mbogo says:

      oges lecep nang kalibata nayamul enak weq … masalahe jik ono rasa pincuk-e … sayang-e gak iso lesehan …

  9. dedy mbogo says:

    wah dadi pengen mulih .. opomeneh ndelok lesehan sambel tumpang-e …. suwun artikel-e paling gak iso ngelingne karo kampung halaman … maklum ae lagi golek pangan nang luar kota … kapan2 iso ditampilne meneh artikel2 liyane …

  10. arifin yeahyeah says:

    Matur nuwun buat mas bdor udah terima email nya ,mungkin artikel nya masih banyak kekurangan nya tapi mungkin bisa buat ngobrol tentang budaya bacakomik dan serial silat di kota pare,karena dari dulu kota pare sudah banyak warga yg demen baca komik,novel,dan cerita bergambar lainnya .

  11. mbah admin says:

    Matur suwun Mas Iwan atas artikel yg sudah kita tunggu2….jajah deso milang warung…heheheh

    Soal Lesehan Susie….manteb !, Mbah Admin dah pernah makan di situ pas nunggu anak opname di RS Amelia.

    Pecel tumpang memang sudah jadi “brand” pecel yg khas dari daerah Kediri dan sekitarnya. Di Surabaya, kalau kita masuk warung pecel dan bertanya, “Bu, ada pecel tumpang ??” biasanya yg punya warung njawab : “Wah mas-nya ini dari Kediri ya?”

    Mas Iwan, tak tunggu hasil liputan sampeyan berikutnya “jajah deso milang warung” tadi…..

    • sonny bdoors says:

      artikel live report, sesuatu sing durung pernah dilakukan awake dewe bot…menarik karena kita bisa tau bahwa bakul ki yo duwe cita2…duwe mimpi..bakul pecel jg manusia hehehee…tp mas kapit, aku ada masukan dikit..piye lak bahasa ngobrolnya tu ya di campur bhs jawa dan bhs indonesia?..ketoke luweh menarik dan hidup. misale kalimat yg ini,…“Bu, Sus…”, sapa saya
      “Hey, mari masuk. Sebelah sini lebih enak ngobrolnya”, sambutnya ramah.

      kl itu di ganti, “Bu, Sus…”, sapa saya
      “Hey, mlebu kene loo. Sebelah sini luwih enak ngobrole”, sambutnya ramah.

      jd atmosfer ngobrol nang warung ki dapet hehehhee…tp kuwi mung usul lo mas kapit. kalau usul jgn asal, kl asal gk boleh usul 😀

      tp, kwi gk bgt penting mas, yg penting sampean sdh mau bantu2 arek2 parekita kwi wis sebuah keajaiban hehhhe….iki ono artikel seko mas arifin yeah yeah yeah, tp blm sempat tak posting. dekne bikin artikel soal Ko Ping Hoo. sesuk wae tk postinge.

  12. sonny bdoors says:

    hola halo reeekk….aku buat kategori baru di blog parekita, namanya “kuliner seputar pare”, kategori ini di buat krn banyak yg minta di muat artikel ttng kuliner di pare, kebetulan saya ktemu mas kapit dan dia mau untuk membuat artikel buat blog parekita (ojo kapok lo mas…di enteni meneh artikel kulinere)..artikel pertama mengulas warung pecel “lesehan susie”…aku yo durung tau mangan pecel nang warung iki, tp ketoke kok menarik jg…..semoga artikel ini bermanfaat dan bisa menambah khasanah kuliner kita. tp yg jelas, sedikitnya kita sdh ikut melestarikan salah satu warisan budaya nenek moyang kita…coz i hate fast food and i hate grocey store…save a traditional food and markets!!! nang mc donald gk nok pecel rek, mosok kate ngawe burger pecel 🙂 😀

Leave a reply to A. Iwan Kapit Cancel reply